Saya masih ingat sewaktu kecil sering menonton televisi hingga malam hari. Di era sebelum maraknya streaming melalui smartphone tiap stasiun televisi besar menetapkan waktu yang sama setiap harinya untuk menayangkan film. Bahkan tidak jarang jadwal tayang tersebut sudah dipublikasikan jauh hari melalui koran.

Pemaparan sejak dini oleh berbagai macam jenis film berdampak besar bagi kepribadian saya. Semenjak kecil saya tahu bahwa dunia ini jauh lebih besar dan beragam dari yang dapat saya bayangkan. Beragam macam pengalaman yang dapat berinteraksi dengan saya di setiap harinya hanyalah bagian kecil dari semua kemungkinan, dan itupun hanyalah potongan kecil di lingkungan tempat saya tinggal. Saya sering memikirkan betapa kecil dan tidak signifikannya kehidupan saya di dunia ini walaupun sewaktu kecil bobot dari pikiran tersebut tidak sedalam yang dapat saya lakukan sekarang tetapi esensi dari renungan mengenai hal tersebut tetap sama, dan banyaknya film yang saya konsumsi menjadi katalis bahan pikiran jika saya bengong di sekolah.

Dalam tiga tahun terakhir ada banyak hal yang membuat saya bingung, kagum, takut, benci, terinspirasi, dan marah terhadap manusia, terutama peradaban yang telah kita buat. Dalam kurun waktu tersebut saya juga banyak melakukan kesalahan serta belajar hal baru. Banyak ide-ide dan pola pikir serta kepercayaan yang saya miliki terus digantikan oleh hal baru semakin bertambahnya umur saya.

Saya pernah menulis ketika sedang menaiki ombak optimisme bahwa kita itu tidak sendirian. Entah apakah saya masih yakin terhadap sudut pandang tersebut, yang pasti adalah pengalaman buruk serta kesusahan yang kita hadapi dalam hidup setiap harinya bukanlah suatu kejadian tunggal dimana hanya kita yang mengalaminya. Setiap orang pasti pernah mengalami pengalaman serupa dan besok setelah kita mati akan masih ada orang yang mengalami pengalaman tersebut. Sehingga dunia ini bisa kita anggap sebagai sebuah siklus dimana kita berperan sesuai apa yang sudah ditakdirkan, jika kita menerima apa adanya dan berusaha sebaik mungkin dengan yang kita punya, maka kita tidak akan diselimuti rasa marah dan penyesalan. Lagian juga tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa mengubah masa lalu.


Dua belas ribu tahun semenjak leluhur kita bertransisi dari berburu dan mulai bercocok tanam, peradaban berada di ambang batas kemajuan teknologi yang begitu pesat dimana seratus tahun kemajuan sama dengan ribuan tahun perkembangan sosial serta teknologi jika dibandingkan rentang waktu sebelumnya. Butuh ribuan tahun bagi spesies kita untuk bisa membayangkan bahwa roda yang baik itu yang berbentuk lingkaran dan ratusan tahun lagi sebelum sistem tulisan, seperti abjad yang menjadi medium penulisan paragraf ini, menjadi hal yang umum dijumpai bagi peradaban di masa lampau.

Agak sulit sebenarnya untuk membayangkan betapa cepatnya teknologi berkembang, butuh ribuan tahun untuk pesawat pertama, yang lebih berat dari udara, terbang. Namun hanya butuh 50 tahun sejak momen tersebut hingga manusia menjejakkan kaki di bulan. Beberapa dekade yang lalu harga dan komputer sangat mahal, sekarang komputer dan smartphone jutaan kali lebih kuat daripada yang digunakan untuk menaruh astronot di bulan. Bahkan iphone, yang sering dianggap sebagai smartphone pertama, rilis di tahun 2007. Itu hanya satu dekade setelah internet mulai dipakai masyarakat luas.


Sekitar lima abad yang lalu seorang PNS dan filsuf Inggris bernama Francis Bacon menyusun landasan berdirinya sains modern. Konsepnya sangat sederhana sebenarnya, mengutip perkataan Richard Feynman (seorang fisikawan AS yang ikut membantu dalam pembuatan bom atom pertama), “Jika hasil bertentangan dengan eksperimen, maka hasil itu salah. Kalimat tersebut adalah kunci dari sains.”

Luar biasa efektifnya metode sains dalam memecahkan masalah di dunia nyata melemahkan peran kepercayaan terhadap hal non material bagi tiap orang yang mau tidak mau dipaksa membaur dengan mereka yang lebih awal berhasil meraup kemajuan teknologi maupun institusi sosial. Peradaban modern yang kita jalani pada dasarnya dilandaskan oleh hilangnya peran Tuhan sebagai hal yang krusial dalam kehidupan tiap orang. Terlepas dari kepercayaan Anda, kita tidak dapat memungkiri bahwa peran agama dalam kehidupan seseorang begitu luas. Agama memberikan tempat bagi tiap pribadi untuk mendapatkan kepastian dan rasa adil dalam hidup. Ketika Eropa menyambut datangnya abad ke-20, banyak orang khawatir bahwa menurunnya jumlah jemaah gereja adalah tanda bahwa dunia akan berakhir dan lebih banyak orang lagi yang berusahalah mencari solusi, apa kira-kira yang dapat menggantikan peran agama dalam peradaban?

Dalam bukunya Sains Yang Menyenangkan, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche menulis sebuah parabel yang sangat berarti bagi saya semenjak saya pertama kali membacanya dengan utuh. Namun parabel ini sering dikutip secara tidak lengkap. Mungkin Anda pernah mendengarnya, “Tuhan telah mati.” Banyak yang salah mengartikan maksud dari perkataan ini. Nietzsche (dibaca nice seperti e di apel) tidak mengklaim bahwa Tuhan benar-benar mati, namun institusi sosial dan kehidupan masyarakat sekaranglah yang telah menghilangkan peran Tuhan dalam kehidupan. Jika kita sakit, kita pergi ke dokter. Jika kita ingin membangun rumah maka kita akan memanggil arsitek. Jika kita butuh pengobatan mental, kita akan ke psikiater. Dahulu semua peran ini akan sangat terikat dengan agama dan kepercayaan tradisional. Sekarang orang di abad ini tidak akan mau diobati oleh dukun jika patah tulang dan butuh operasi.

Konsekuensinya sangat besar. Nietzsche secara teori memprediksi pengadopsian ideologi komunisme dan fasisme puluhan tahun sebelum revolusi tahun 1917 di kekaisaran Rusia yang menciptakan negara komunis pertama, Uni Soviet serta sebelum naiknya partai fasis di Jerman. Ia juga mengibaratkan bahwa seolah-olah umat manusia berdiri di atas karpet lalu karpet itu ditarik dari belakang, sehingga manusia bingung, dan terjatuh. Apa yang akan kita anggap sebagai perbuatan tercela dan perbuatan baik jika tidak dikaitkan dengan konsep dosa?


“How shall we comfort ourselves, the murderers of all murderers?
Apa yang akan kita lakukan sekarang, pembunuh dari semua pembunuh?

What was holiest and mightiest of all that the world has yet owned has bled to death under our knives: who will wipe this blood off us? What water is there for us to clean ourselves?
Yang paling suci dan maha agung telah mati di tangan kita: siapa yang akan membersihkan darah ini? Air apa yang dapat membersihkan kita?

What festivals of atonement, what sacred games shall we have to invent? Is not the greatness of this deed too great for us? Must we ourselves not become gods simply to appear worthy of it?
Ritual pertobatan dan permainan macam apa yang harus kita ciptakan? Bukankah perbuatan ini seharusnya diluar kemampuan kita? Haruskah kita menjadi Tuhan demi menebus perbuatan ini?

There has never been a greater deed; and whoever is born after us—for the sake of this deed he will belong to a higher history than all history hitherto."
Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar sebelumnya; dan akibat perbuatan ini, siapapun yang lahir setelah kita niscaya ia akan hidup di era yang berbeda dibandingkan seluruh sejarah umat manusia


Ada pepatah mengatakan “The road to hell is paved with good intentions.” Yang berarti bahwa orang yang kita anggap melakukan hal buruk pun sebenarnya berangkat dari kesimpulan bahwa ia yakin yang ia lakukan adalah hal yang baik. Para pembuat bom atom percaya bahwa adanya senjata ini akan menghentikan perang besar untuk selamanya. Namun tidak lama setelah bom pertama digunakan untuk mengakhiri perang dunia dua, dunia terjerumus ke perang dingin, perang di Korea dan Vietnam. Selama 70 tahun dunia dibagi menjadi tiga kubu, tiga kepercayaan. Hal yang patut kita syukuri adalah belum pernah nuklir digunakan setelah perang dunia kedua. Dahulu di puncak perang dingin, ada puluhan ribu misil nuklir yang disimpan oleh AS dan Uni Soviet, sekarang masih ada belasan ribu misil; sebuah kemajuan yang lumayan namun belasan ribu misil sudah lebih dari cukup untuk memusnahkan semua kehidupan di bumi berkali-kali.

Perang nuklir tidak akan ada pemenangnya dan akan berlangsung dalam hitungan jam. Butuh sekitar 30 menit hingga satu jam bagi tiap misil nuklir untuk menuju target tujuannya di bagian bumi mana pun. Jika perang nuklir benar-benar terjadi, Anda dan saya tidak akan merasakan dampak perang seperti zaman dahulu karena jika tinggal di kota maka kita akan hangus dan menguap seketika atau jika tinggal jauh dari pusat ledakan akan terkena dampaknya kurang dari satu hari hingga seminggu. Dalam hitungan hari atmosfir akan tertutupi oleh debu dan suhu permukaan di bumi akan turun beberapa derajat, cukup untuk menggagalkan panen di seluruh dunia. Milyaran orang akan mati, jutaan kilometer terkena radiasi dan stok pangan menurun drasits.


Saya mulai mengantuk jadi intinya begini pembaca yang saya cintai dan saya banggakan: Ketika tujuan bukan lagi akhirat namun teknologi yang semakin bagus dan uang, apa endgame bagi umat manusia? Apakah kita akan menjadi robot? Menyatu dengan teknologi adalah esensi dari konsep singularitas. Apakah kita akan mengkolonisasi galaksi ini? Apakah kita akan punah lewat perang?