Demi Sesuap Nasi
Beberapa minggu yang lalu saya membuat akun linkedin.
Bagi yang belum familiar, linkedin adalah facebook untuk cari kerja. Platform ini sudah berevolusi hingga menjadi media sosial untuk dunia korporat. Tidak sampai lima menit dari membuat akun, saya menyadari bahwa saya sangat minim pengalaman dan skill yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan. Rupanya persaingan mencari pekerjaan begitu ketat, apalagi pekerjaan dengan prospek cerah yang menjadi rebutan para lulusan perguruan tinggi tiap tahunnya. Para lulusan ini, yang sering disebut sebagai fresh graduate, berjumlah jutaan tiap tahunnya. Banyak dari mereka pengangguran.
Apa yang akan terjadi pada seorang mahasiswa biasa saja dengan IPK rata-rata dan pengalaman yang sedikit?
Saya bukan mahasiswa yang rajin. Saya hanya berharap dapat lulus tepat waktu dengan IPK yang tidak buruk-buruk amat. Hal ini menjadi penekanan penting yang sering saya pikirkan ketika jam dua pagi sembari menonton serial TV. Saya juga kepikiran bahwa bagi mereka yang masuk di PTN ternama pun belum tentu mendapatkan pekerjaan. Mereka yang berminat di prodi masing-masing pun juga belum tentu akan memiliki daya tarik tinggi di pasar lowongan kerja.
Alur cerita dari seri ini adalah sekolompok pencuri yang ingin mencuri dari gedung percetakan uang dan mencuri emas dari bank Spanyol. Banyak adegan di mana para tokoh pemeran seri ini mengutarakan bahwa hidup mereka sangat sulit dan mereka merupakan anggota masyarakat yang dikucilkan. Salah satu tokoh bernama profesor yang menjadi pemimpin dari kelompok ini mengatakan bahwa ciri khas (dan alasan ia merekrut) para anggota adalah mereka sudah terlibat kasus kriminal, terlilit hutang, menjadi buronan polisi dan tidak punya opsi selain bergabung dengannya agar mampu memulai hidup yang baru dengan uang yang akan mereka curi.
Saya sering berpikir bahwa agak lucu jika untuk mencari pekerjaan perlu mengeluarkan biaya.
Seperti meme dimana orang yang ingin mendaftar suatu loker harus punya pengalaman minimal dua tahun namun ia baru saja lulus sehingga ia harus bekerja agar memiliki pengalaman namun untuk mendaftar kerja ia harus punya pengalaman minimal dua tahun…
Haruskah saya mencuri agar dapat memenuhi kebutuhan hidup?
Kenyataannya dunia ini seperti itu, untuk lulus kuliah atau suatu program sertifikasi perlu biaya yang nantinya diharapkan dapat menjadi senjata untuk mencari pekerjaan. Di komunitas web development banyak yang namanya boot camp, sebuah program pelatihan kerja mulai dari nol yang biasanya berlangsung beberapa bulan dengan garansi mendapatkan pekerjaan web development. Tentu harganya tidak murah. Dan boot camp ini menjadi kontroversi di industri pemrograman karena tidak sedikit jumlah orang yang memulai karir mereka dengan mempelajari ilmu nya secara otodidak sehingga mereka menganggap boot camp ini sebuah program yang tidak sepadan dengan tarif yang diminta.
Ada juga kasus dimana orang tua menjual mobil hingga tanah atau sawah supaya anaknya bisa mendaftar menjadi polisi. Untuk masuk ke pendidikan tinggi juga sekarang sering kita lihat banyak murid les atau biasa disebut bimbel yang biayanya tidak murah.
Biasanya tiap industri juga memiliki sertifikat atau lembaga penjamin mutu yang menjadi standar untuk memulai karir di industri tersebut. Untuk menjadi insinyur misalnya, tidak cukup dengan gelar sarjana; begitu juga untuk menjadi dokter. Dan ini bukan tanpa tujuan, tentu kita tidak mau diobati oleh dokter atau membangun rumah dibantu konstruktor yang otodidak.
Ada dua istilah penting yang menjadi pokok pembahasan disini yaitu “pekerja informal” dan “produktivitas pekerja”.
Pekerja informal bekerja di sektor informal yaitu sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Sehingga sektor informal adalah bisnis yang kecil dan biasanya belum membayar pajak.
Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal. Contoh dari sektor informal yaitu warung dan toko kelontong.
Sedangkan sektor formal adalah bidang usaha yang mendapatkan izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang pada suatu kawasan dimana bidang usaha ini terdaftar pada instansi pemerintahan dan diakui secara negara.
Mengetahui kedua perbedaan ini penting bagi pekerja di Indonesia, karena sekitar 60 persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Ini merupakan salah satu dari banyak faktor yang menjadikan kategori Indonesia sebagai negara berkembang. Kita dapat menarik hubungan antara pendapatan dengan sektor yang menjadi bidang tempat bekerja seseorang. Seorang dokter tentu akan mendapat gaji yang lebih tinggi dari supir angkot (kecuali di Kuba tapi itu beda topik lagi). Kita semua pasti ingin bekerja di sektor formal, entah itu menjadi karyawan atau membangun bisnis kita sendiri. Oleh karenanya persyaratan mencari kerja memang sangat tinggi, mulai dari skill yang dibutuhkan hingga sikap atau attitude pencari kerja. Karena untuk bekerja di sektor formal membutuhkan latar belakang pendidikan yang jauh lebih tinggi daripada sektor informal. Setiap orang hanya butuh hitungan jam untuk bisa melakukan hal repetitif di sebuah pabrik atau mengandalkan tenaga fisik untuk memindahkan atau mengangkut suatu barang. Namun sektor formal membutuhkan begitu banyak investasi, SDM dengan kualitas tinggi karena produk atau jasa yang dihasilkan juga bernilai tinggi.
Di buku Invisible China karya Scott Rozelle dan Natalie Hell hasil observasi para pakar mengenai perkembangan ekonomi di Cina salah satu masalah yang belum diatasi adalah tingkat edukasi yang rendah. Selain itu, basis ekonomi di Cina masih berdasarkan sektor informal. Perlu kita ketahui bahwa populasi Cina begitu besar, dan yang memiliki standar hidup tinggi hanya yang berada di pesisir bagian timur. Lebih dari 800 juta orang tinggal di pedesaan (rural) yang mana akibat sistem hukou (seperti Kartu Keluarga namun memiliki unsur diskriminasi antara orang pedesaan dengan perkotaan) bagi keluarga yang berpindah ke kota, anak mereka tidak dapat sekolah di kota. Dapat kita bayangkan sebuah keluarga dengan orang tua yang hanya memiliki pendidikan dasar, pindah ke kota bekerja di pabrik demi mendapatkan uang yang lebih banyak ketimbang menjadi petani. Mereka tidak dapat membawa anak karena sistem hukou dan infrastruktur sekolah di pedesaan masih kalah dibandingkan yang di kota. (Ada dokumentasi dari Vice yang sangat bagus mengenai topik ini.)
Penulis buku ini juga melihat korelasi antara tingkat pendidikan dengan berhasilnya suatu negara menjadi negara maju.
One of the overlooked but remain a common point between countries that were able to graduate to high income economies are high school enrollment rate above 50 percent.
Poin yang sering terlewatkan, yang menjadi ciri khas negara yang berhasil menjadi negara berpenghasilan tinggi adalah angka partisipasi SMA diatas 50 persen.
Saya disini tidak mau menjadi orang yang hanya mengatakan hal buruk karena sebisa mungkin saya ingin menjadi orang yang optimis, namun that being said, penduduk Tanah Air paling banyak lulusan SD. Maka sebenarnya hal termudah untuk berkontribusi menjadi warga negara ini adalah jadilah orang yang berpendidikan, minimal lulusan SMA atau SMK. Atau jika Anda termasuk orang yang beropini bahwa kuliah itu tidak penting, minimal punya bisnis dan membuka lapangan kerja untuk banyak orang.
Istilah penting kedua yaitu produktivitas pekerja.
Produktivitas pekerja biasanya diukur dari seberapa besar, dalam unit mata uang (biasanya dolar AS), produk atau jasa yang dihasilkan oleh tiap pekerja dalam setahun. Misalnya begini, Anda bekerja di pabrik tekstil maka dalam setahun jumlah produk tekstil yang Anda buat itu setara berapa dolar/rupiah?
Faktor yang memengaruhi produktivitas pekerja begitu banyak. Namun salah satunya kembali lagi ke pendidikan. Biasanya disini disebutnya “high skilled labor”. Membuat televisi atau laptop pasti butuh SDM yang lebih tinggi daripada membuat baju. Nilai tiap laptop juga lebih mahal dari tiap baju yang terjual.
Berdasarkan data terbaru dari International Labor Organization (ILO), kita dapat melihat bahwa tiap pekerja di Singapura dapat menghasilkan barang atau jasa setara dengan 70-an dolar per JAM sedangkan pekerja +62 menghasilkan 13 dolar per JAM.
Kesenjangan produktivitas antara negara berkembang dan negara maju menjadi tantangan bagi negara berkembang seperti +62 agar memperbaiki SDM nya.
Antusiasme Dunia Investasi
Pada akhir tahun 2022, menteri keuangan Sri Mulyani di acara penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia mengatakan bahwa sukuk ritel pemerintah habis terjual dalam hitungan menit. Ini berarti bahwa antusiasme masyarakat terhadap investasi terutama kaum muda meningkat.
Literasi finansial sudah menjadi pertimbangan bagi kelas menengah milenial Indonesia.
Beberapa tahun lalu juga fenomena NFT serta kripto sempat menjadi perbincangan di media sosial karena dinilai dapat menjadi sarana mencari uang dengan cepat. Ada artis yang mengeluarkan token tidak jelas dan banyak orang tertipu karena uang mereka hilang. Saya waktu itu hanya geleng-geleng kepala karena secara logika saja tidak mungkin ada yang namanya “cepat kaya”. Sehingga entah itu saham ataupun kripto tidak mungkin menjadi jalur supaya mendapatkan cuan yang banyak. Layaknya hanya ada dua cara untuk mendapatkan uang: bekerja atau mencuri (atau jika Anda adalah bank sentral maka bisa mencetak uang seenaknya tapi itu beda topik). Bekerja berbentuk bermacam-macam (Anda bisa mandi lumpur di tiktok misalnya) dan mencuri risikonya tertangkap pak polisi. Definisi kata cepat pun setidaknya harus berada di angka 10 tahun.
Di buku The Millionaire Fastlane karya om MJ DeMarco ia menulis bahwa definisi “cepat” dalam konteks mencari uang adalah minimal 10 tahun. Sehingga tidak mungkin tanpa skill dan ketekunan orang dapat menghasilkan uang dalam waktu yang singkat.
Disini terdapat poin penting yang mungkin tertutupi oleh perihal mencari uang. Banyak cara untuk meningkatkan pendapatan. Misal Anda berjualan bakso maka jika mendapatkan pinjaman dari bank bisa digunakan untuk membuka cabang yang baru. Begitu juga jika kita lihat membangun kos-kosan merupakan investasi umum di bidang properti bagi banyak orang yang rekeningnya nol nya banyak. Di daerah yang banyak perguruan tinggi atau tempat wisata seperti Jogja bisnis membangun kos-kosan atau tempat penginapan bagi keluarga yang berlibur sangat menjanjikan. Ini adalah bentuk investasi. Kakek nenek kita dulu hanya mengenal emas/perhiasan sebagai bentuk investasi, bagi mereka yang lebih makmur mungkin bisa memelihara sapi atau membeli lahan/sawah.
Di era modern ini bentuk investasi begitu banyak dan dapat kita gunakan agar tabungan yang kita miliki lebih produktif dibanding hanya tersimpan di bank. Jika dilakukan dengan tepat, maka beragam opsi investasi masa kini dapat menjadi sarana menghasilkan cuan dan mempersiapkan untuk masa setelah pensiun nanti. Namun perlu diingat bahwa investasi dapat kita kategorikan sebagai investasi yang berisiko tinggi risiko rendah. Investasi ini tidak bisa kita lakukan sebelum kebutuhan pokok tercukupi serta tabungan dan uang darurat sudah kita miliki.
Oleh karenanya saya juga tidak mau ketinggalan dan ingin menekuni dunia investasi serta saham (walaupun belum punya modal) dan mengerti istilah-istilah yang digunakan. Minimal jika sudah memiliki gaji nanti bisa tahu apa yang dapat menjadi opsi bagi tabungan saya, agar tidak disimpan di bank saja. Saya membuat akun di berbagai macam aplikasi untuk berinvestasi yang memiliki banyak jumlah penggunanya. Banyak aplikasi tersebut menyediakan artikel dan video penjelasan bagi orang awam yang ingin memahami istilah ekonomi.
Saya juga membuat dokumen catatan di aplikasi catatan saya. Berikut beberapa istilah yang sudah saya temui, kira-kira apakah pembaca tahu maksud istilah dibawah ini?
- Venture Capital (Modal Ventura)
- Initial Public Offering (Penawaran Umum Perdana)
- Government Bond (Sukuk Ritel/Obligasi Negara Ritel)
- Mutual Funds (Reksadana)
- Index Funds (Reksadana Indeks)
- Efek/Sekuritas (Security)
- Ekuitas
- Dividen
- Kustodian
- Likuiditas
- Surat Berharga
- Decentralized Finance (DeFi)
- Private equity
- Perseroan Terbatas (PT)
Di unggahan yang akan datang saya akan mencoba merangkum bentuk konkrit dari contoh simpel pengeluaran seseorang yang sudah bekerja atau membangun keluarga. Selain itu saya juga akan mencoba menulis mengenai istilah-istilah diatas seiring dengan bertambahnya pemahaman saya mengenai dunia per-cuan-an.
Biaya Membangun Keluarga
Saya juga membaca artikel mengenai biaya yang dibutuhkan untuk menikah dan membesarkan anak.
Ternyata biaya yang dibutuhkan lumayan juga, walaupun banyak opsi yang bisa diambil bagi seseorang yang ingin menikah/memiliki anak. Pengeluaran akan sesuai dengan kriteria yang diinginkan, nikah tidak harus mahal jika mengundang orang sedikit saja dan tidak mewah-mewah. Begitu juga dengan membesarkan anak, pengeluaran tergantung kesepakatan pasangan serta biaya terkait kehamilan hingga melahirkan dapat ditanggung BPJS tidak harus ke rumah sakit swasta.
Kesimpulan yang saya ambil yaitu biaya hidup bagi seseorang itu adalah hasil pilihan serta kemampuan mengatur uang.
Jika dipikir-pikir juga orang zaman dahulu bisa memiliki anak banyak dan jika telaten dapat menyekolahkan hingga sarjana. Namun tidak dapat dipungkiri terdapat batas bawah (lowerbound) mengenai pendapatan atau uang yang harus dimiliki agar tidak mepet-mepet amat. Misalkan saja dengan uang satu juta per bulan akan sangat sulit untuk membiayai hidup apalagi jika memiliki anak. Saya semenjak lama ingin mencari angka berapa yang pas atau angka minimum agar tetap dapat hidup tidak dipenuhi stres jika ingin berkeluarga. Sejauh ini riset saya masih belum komprehensif sehingga belum dapat saya bagikan, namun saya rasa angkanya tidak tinggi dan sangat tergantung tempat tinggal. Seorang pasangan yang ingin membesarkan anak di Jakarta akan berbeda kebutuhannya dengan yang membesarkan anak di Jogja.
Ada dua variabel yang tidak saya sangka perannya besar jika memiliki anak:
- Susu. Biaya paling mahal ternyata adalah merk susu. Jika ingin yang merk bagus harganya bisa berkali-kali lipat merk susu yang murah. Angkanya bisa ratusan ribu per bulan.
- Biaya ART (Asisten Rumah Tangga). Sudah lazim bagi pasangan yang keduanya bekerja untuk membutuhkan ART yang akan menjaga anak di rumah. Opsi lain adalah menitipkan di kerabat, atau orang tua (tidak mungkin jika tempat tinggal jauh dari orang tua), atau tempat penitipan anak.
Artikel ini dari Bibit menurut saya memberikan gambaran yang bagus mengenai biaya pernikahan bagi yang ingin menikah.
Jika rata-rata orang bekerja semenjak lulus kuliah serta menikah sebelum umur tiga puluh tahun, kira-kira uangnya dari mana? Itu pertanyaan yang ingin saya mencoba selidiki walaupun sebenarnya jawabannya sudah jelas: dari orang tua. Tapi saya ingin tahu lebih rinci biaya apa saja yang akan dikeluarkan dan tentunya bagaimana membangun keluarga tanpa modal yang begitu besar karena saya bobrok tidak punya uang.